Buah Keimanan Kepada Qadha Dan Qadar : Terbebas Dari Syirik, Ikhlas, Tawakkal, Takut Kepada Allah
BUAH KEIMANAN KEPADA QADHA DAN QADHAR[1]
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Iman kepada qadha’ dan qadar menghasilkan buah yang besar, akhlak yang indah, dan ibadah yang beraneka ragam, yang pengaruhnya kembali kepada individu dan komunitas masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara buah-buah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Menunaikan Peribadatan Kepada Allah Azza wa Jalla.
Iman kepada qadar merupakan salah satu peribadatan kita kepada Allah, sedangkan kesempurnaan makhluk itu adalah terletak pada realisasi peribadatannya kepada Rabb-nya. Setiap kali bertambah realisasi peribadatannya, maka bertambah pula kesempurnaannya dan derajatnya menjadi tinggi, sehingga segala sesuatu yang menimpanya dari perkara yang tidak disukainya pun menjadi kebaikan baginya. Dan dari keimanan tersebut, menghasilkan baginya berbagai peribadatan yang sangat banyak, yang sebagian di antaranya akan disebutkan.
2. Terbebas Dari Syirik.
Kaum Majusi menyangka, bahwa cahaya adalah pencipta kebajikan sedangkan kegelapan adalah pencipta keburukan. Dan Qadariyyah pun mengatakan, “Allah tidak menciptakan perbuatan para hamba, tetapi para hamba itulah yang menciptakan berbagai perbuatan mereka.” Maka mereka ini telah menetapkan pencipta-pencipta (yang lain) bersama Allah Azza wa Jalla
Kesesatan ini adalah syirik. Padahal iman kepada qadar dengan cara yang benar adalah dengan mentauhidkan Allah Azza wa Jalla
Kemudian orang yang beriman kepada qadar mengetahui, bahwa semua makhluk berada dalam kekuasaan Allah, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semuanya tidak memiliki suatu kekuasaan pun, mereka tidak memiliki kekuasaan untuk dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan maupun kemudharatan. Demikian pula dia pun mengetahui secara yakin, bahwa segala urusan itu adalah berada di tangan Allah, Dia memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mencegah dari siapa yang dikehendaki-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya. Hal ini akan mendorongnya untuk mengesakan Allah dalam beribadah, semata-mata hanya untuk-Nya, tidak kepada selain-Nya. Maka ia tidak mendekatkan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mengusap debu-debu kuburan, serta makam orang-orang shalih.
3. Memperoleh Hidayah Dan Tambahan Keimanan.
Orang yang beriman kepada qadar, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan tauhid kepada-Nya, menambah keimanannya, dan berjalan di atas petunjuk dari Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar termasuk mendapatkan petunjuk.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” [Muhammad/47 : 17]
Dia juga berfirman.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya … .” [At-Taghaabun: 11]
‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun pasrah dan ridha.” [2]
4. Ikhlas.
Iman kepada qadar akan membawa pelakunya kepada keikhlasan, sehingga motifasinya dalam segala perbuatannya ialah melaksanakan perintah Allah. Orang yang beriman kepada qadar mengetahui, bahwa perintah adalah perintah Allah dan kekuasaan adalah kekuasaan-Nya, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, serta tidak ada yang dapat menolak karunia dan ketetapan-Nya. Semua itu mendorongnya kepada keikhlasan beramal karena Allah dan membersihkannya dari kotoran yang menodainya. Karena yang membawa ketidak-ikhlasan atau kekurangikhlasan adalah pamrih kepada manusia (riya’), mencari pujian atau sanjungan di hati mereka, atau lari dari celaan mereka, mencari harta mereka atau bantuan dan cinta mereka, atau selainnya dari noda-noda dan penyakit-penyakit yang dihimpun dalam menginginkan sesuatu selain Allah dalam beramal. [3]
Jika seorang hamba percaya, bahwa perkara-perkara ini tidak dapat diraih kecuali dengan takdir Allah Azza wa Jalla, dan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, baik pada diri mereka maupun pada selain mereka, maka dia tidak akan peduli dengan manusia dan tidak mencari keridhaan mereka dengan menukarnya dengan mendapatkan murka Allah. Sehingga hal itu akan mendorong untuk lebih mendahulukan Dzat Yang Mahabenar daripada makhluk, kepada keikhlasan dan memurnikan ibadah, serta jauh dari segala riya’ dan kemusyrikan.
Dari sinilah akan diraih keutamaan ikhlas, yang merupakan keutamaan yang paling mulia. Karena ikhlas dapat meninggikan kedudukan amal, sehingga menjadi tangga-tangga untuk mencapai keberuntungan. Inilah yang membawa manusia untuk melanjutkan amal kebajikan, menjadikan tekad seseorang menjadi kuat, dan mengikat hatinya. Sehingga ia pun melangkah hingga mencapai tujuannya.
5. Tawakkal.
Tawakkal kepada Allah adalah inti ibadah, sedangkan tawakkal tidaklah sah dan lurus kecuali bagi siapa yang beriman kepada qadar sesuai dengan cara yang benar.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Syaikh kami [4] -semoga Allah meridhainya- mengatakan, ‘Karena itu, tawakkal tidak sah dan tidak terbayangkan berasal dari para filosof, tidak juga dari Qadariyyah yang membantah dan mengatakan bahwa dalam kekuasaan-Nya ada sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, tidak juga dari Jahmiyyah yang menafikan sifat-sifat Rabb Jalla jalaa Luhu, dan tidak pula tawakkal akan lurus kecuali dari kaum yang menetapkan sifat-sifat Allah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).” [4]
Yang dimaksud dengan tawakkal, menurut syari’at adalah, mengarahkan hati kepada Allah pada saat beramal, meminta pertolongan, dan bersandar kepada-Nya semata. Itulah rahasia dan hakikat tawakkal.
Syari’at memerintahkan kepada orang yang beramal agar hatinya berhimpun di atas pelita tawakkal dan penyerahan diri.
Hal yang dapat merealisasikan tawakkal ialah, melakukan usaha-usaha yang diperintahkan. Barangsiapa yang menafikannya, maka tidak sah tawakkalnya.
Jika hamba bertawakkal kepada Rabb-nya, berserah diri kepada-Nya, dan menyerahkan urusannya kepada-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya kekuatan, tekad, kesabaran, dan menjauh-kannya dari berbagai bencana yang merupakan halangan ikhtiar hamba bagi dirinya, serta memperlihatkan kepadanya kebaikan berbagai akibat ikhtiarnya untuknya, yang tidak mungkin dia sampai kepadanya walaupun kepada sebagiannya, apabila (hanya bersan-darkan) kepada ikhtiarnya semata.
Ini semua akan menenangkannya dari pemikiran-pemikiran yang melelahkan dalam berbagai jenis ikhtiar, dan mengosongkan hatinya dari pertimbangan-pertimbangan yang sewaktu-waktu dia tempuh dan sewaktu-waktu ia tinggalkan.
6. Takut Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan Anda jumpai senantiasa takut kepada Allah dan suul khaatimah (akhir kematian yang buruk), sebab dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya dan tidak juga merasa aman dari makar Allah.
Dari sini, dia akan merasa amalnya sedikit dan tidak terpedaya dengan amalnya, apa pun yang telah dilakukannya. Karena hati manusia itu berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman, Dia membolak-balikkannya bagaimana saja Ia kehendaki, dan pengetahuan tentang akhir dari amalnya adalah berada di sisi Allah Azza wa Jalla.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
فَوَاللهِ، إِنَّ أَحَدَكُمْ أَوِ الرَّجُلَ يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ بَاعٍ أَوْ ذِرَاعٍ، فَيَسْبِقُ عَلَـيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ الرَّجُلَ، لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِرَاعٍ أَوْ ذِرَاعَيْنِ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
“Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kalian atau seseorang beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya sedepa atau sehasta lagi, tetapi telah berlaku ketetapan sebelumnya atasnya, lalu dia beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga dia pun masuk ke dalam Surga. Dan seseorang benar-benar beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga jarak antara dirinya dengan Surga hanya sehasta atau dua hasta lagi, tetapi telah berlaku ketetapan atasnya, lalu dia beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga dia pun masuk Neraka.” [6]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
“Seorang hamba benar-benar beramal dengan amalan ahli Neraka padahal sesungguhnya dia termasuk ahli Surga, dan seseorang benar-benar beramal dengan amalan ahli Surga padahal sesungguhnya dia termasuk ahli Neraka, sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada akhir penutupnya.” [7]
7. Kuat Harapan Dan Berprasangka Baik Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan berprasangka baik kepada Allah dan sangat berharap kepada-Nya, karena dia mengetahui bahwa Allah tidak menetapkan suatu ketentuan pun melainkan di dalamnya berisikan kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan.
Ia tidak menghujat Rabb-nya mengenai berbagai qadha’ dan qadar yang ditentukan atasnya, dan hal itu mengharuskannya untuk konsisten di sisi-Nya dan ridha kepada apa yang dipilihkan Rabb-nya untuknya, sebagaimana mengharuskan untuknya menunggu kelapangan. Hal itu dapat meringankan beban yang berat, terutama bila disertai harapan yang kuat atau yakin dengan adanya kelapangan. Ia mencium dalam bencana itu udara kelapangan dan jalan keluar, baik berupa kebaikan yang tersembunyi dan baik berupa kelapangan yang disegerakan. [8]
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat, al-Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 137-139, 178-179, 200-202, al-Jaami’ush Shahiih fil Qadar, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, hal. 11-12, Majmuu’ah Duruus wa Fataawaa al-Haramil Makki, Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, (I/73), al-Qadhaa’ wal Qadar, Dr. ‘Umar al-‘Asyqar, hal. 109-112, al-Iiman, Dr. Muhammad Na’im Yasin, dan al-Qadhaa’ wal Qadar, Dr. ‘Abdurrahman al-Mahmud, hal. 293-300.
[2]. Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, (VIII/283).
[3]. Lihat, Madaarijus Saalikiin, Ibnul Qayyim, (II/93).
[4]. Yakni, Ibnu Taimiyyah v.
[5]. Madaarijus Saalikiin, (II/218).
[6]. HR. Al-Bukhari, )no. 6594(.
[7]. HR. Al-Bukhari, )no. 6607(.
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/166-199).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2186-buah-keimanan-kepada-qadha-dan-qadar-terbebas-dari-syirik-ikhlas-tawakkal-takut-kepada-allah.html